Terkadang kita bingung bagaimana jika bayi atau anak kita yang seringkali mengompol mengotori pakaian atau peralatan di rumah kita. Tentu semua ada hukumnya menurut islam.
Dalam artikel kali ini kita akan membahas mengenai “Urin Bayi Najis Atau Tidak? Yuk Simak Penjelasannya!” Akan di bahas secara lengkap berdasarkan pandangan ulama islam. Yuk simak penjelasannya hingga habis!
Penjelasan menurut Mahzab Syafi’i
Pasti setiap orang punya pandangannya masing-masing. Ada yang bilang najis dan dan ada yang bilang tidak.
Namun, Seperti yang telah di jelaskan Dalam mazhab Syafi’i di jelaskan bahwa urin atau air kencing laki laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan apapun kecuali ASI, statusnya adalah najis mukhaffafah, dimana dalam mensucikannya tidak perlu dibasuh, cukup memercikan air saja padanya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dari Ummi Qais sebagai berikut:
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ، أَنَّهَا جَاءَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ، فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حِجْرِهِ، فَبَالَ عَلَيْهِ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Artinya, “Dari Ummu Qais bahwa dia datang menemui Rasulullah saw dengan membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan. Rasulullah lalu mendudukkan anak kecil itu dalam pangkuannya sehingga ia kencing dan mengenai pakaian beliau. Beliau kemudian minta diambilkan air lalu memercikkannya dan tidak membasuhnya.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Namun penjelasan akan Hal ini hanya khusus untuk air kencing bayi laki laki dan tidak untuk bayi perempuan. Alasannya karena kecenderungan menggendong bayi laki laki lebih sering, maka diberi keringanan dalam membersihkan urinnya. Selain itu, urin bayi laki laki lebih encer daripada urin bayi perempuan, sehingga tidak menempel pada tempat seperti halnya urin bayi perempuan. (Al-Qalyubi wa Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz I, halaman 85).
Berarti dapat kita ketahui selama masih meminum asi, maka kita cukup mensucikannya dengan memercikkan air saja
Hukum Kencing Bayi yang Sudah meminum Susu Formula
Sebelum lebih lanjut, Dalam hal ini, perlu di perjelas terlebih dahulu apakah susu formula dapat disamakan dengan ASI atau tidak? Berikut penjelasannya:
قَوْلُهُ: (الطَّعَامَ) الْمُرَادُ بِهِ غَيْرُ اللَّبَنِ حَتَّى الْمَاءُ بَلْ يَشْمَلُهُ لَفْظُ الطَّعَامِ، وَعِبَارَةُ أَصْلِ الرَّوْضَةِ لَمْ يَطْعَمْ وَلَمْ يَشْرَبْ سِوَى اللَّبَنِ اهـ. قَالَ سم: وَقَضِيَّةُ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أُمِّهِ وَغَيْرِهَا خِلَافًا لِلْأَذْرَعِيِّ فِي لَبَنِ الشَّاةِ وَنَحْوِهَا، وَلَا بَيْنَ اللَّبَنِ النَّجِسِ وَالطَّاهِرِ خِلَافًا لِلزَّرْكَشِيِّ اهـ. وَقَوْلُهُ: وَالنَّجِسُ، وَلَوْ مِنْ مُغَلَّظٍ، وَإِنْ وَجَبَ تَسْبِيعُ فَمِهِ لَا سَمْنِهِ وَجُبْنِهِ. اهـ. ق ل. قَالَ ح ل: وَمِنْ الطَّعَامِ السَّمْنُ وَلَوْ مِنْ لَبَنِ أُمِّهِ اهـ.
Artinya, “Ungkapan ‘makanan’ yang dimaksud makanan di sini adalah selain susu, termasuk juga air, istilah makanan mencakupnya. Ungkapan asli kitab Ar Raudhah adalah ‘ia tidak makan dan tidak minum selain susu’. Syaikh Ahmad bin Qasim Al- Ubbadi berkata: “Inti ungkapan mereka menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara susu ibunya sendiri dan selainnya, berbeda dengan pendapat Imam Al- Adzra’i tentang susu kambing dan sejenisnya. Dan tidak ada perbedaan antara susu yang najis dan yang suci, berbeda juga dengan pendapat Az-Zarkasyi.
Ungkapanya (Al- Qalyubi): “Yang Najis” sekalipun susu dari hewan yang najis mugholadzoh, meskipun wajib membasuh 7 kali mulutnya bukan mentega dan kejunya. Al- Halabi berkata, termasuk makanan adalah minyak samin sekalipun berasal dari susu ibunya.” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al- Bujairimi, Hasyiyah Al- Bujairimi ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: 1995], ,juz I, halaman 320).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penjelasan cakupan susu adalah seluruh susu; baik susu manusia, ibunya sendiri atau selainnya; ataupun susu hewan bahkan hewan yang najis mughaladzah sekalipun.
Lalu apakah susu formula dapat disamakan dengan ASI?
Melihat kenyataan bahwa susu formula bentuknya adalah bubuk, komposisinya tidak murni susu sapi, melainkan ada beragam campuran. Selain itu dalam penyajiannya pasti di campur dengan air, maka sebagai langkah kehati hatian, susu formula tidak bisa disamakan dengan ASI, melainkan masuk dalam kategori makanan yang diberikan untuk memenuhi nutrisi bayi (taghaddi).
Nah, Dengan demikian, untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula urin atau air kencingnya di hukumi najis biasa (mutawasitah) sehingga dalam menyucikannya harus dibasuh, tidak cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis tanpa mengalirkannya.
Pertanyaan berikutnya, apakah bayi yang mengkonsumsi ASI 100%, namun sebelumnya pernah mengkonsumsi susu formula najis urinnya berubah menjadi najis mukhaffafah atau tetap najis mutawasitah?
Mengikuti penjelasan di atas bahwa bayi yang telah mengkonsumsi susu formula, najis kencingnya tidak lagi di sebut najis mukhaffafah, maka ketika ia kembali minum ASI najis kencingnya tetap harus di basuh dengan air mengalir. Berikut di jelaskan oleh Al Bujairimi:
فَلَوْ شَرِبَ اللَّبَنَ قَبْلَ الْحَوْلَيْنِ ثُمَّ بَالَ بَعْدَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَأْكُلَ غَيْرَ اللَّبَنِ، فَهَلْ يَكْفِي فِيهِ النَّضْحُ أَوْ يَجِبُ فِيهِ الْغَسْلُ؛ لِأَنَّ تَمَامَ الْحَوْلَيْنِ نَازِلٌ مَنْزِلَةَ أَكْلِ غَيْرِ اللَّبَنِ؟ الَّذِي يَظْهَرُ الثَّانِي كَمَا اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الطَّنْدَتَائِيُّ، وَكَذَا لَوْ أَكَلَ غَيْرَ اللَّبَنِ لِلتَّغَذِّي فِي بَعْضِ الْأَيَّامِ، ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْ ذَلِكَ وَصَارَ يَقْتَصِرُ عَلَى اللَّبَنِ، فَهَلْ يُقَالُ لِكُلِّ زَمَنٍ حُكْمُهُ، أَوْ يُقَالُ يَغْسِلُ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهُ أَكَلَ غَيْرَ اللَّبَنِ لِلتَّغَذِّي؟ الَّذِي يَظْهَرُ الثَّانِي
Artinya, “Maka jika bayi minum susu sebelum dua tahun, kemudian kencing setelah dua tahun sebelum makan selain susu, apakah cukup dengan memercikan atau harus membasuhnya; karena selesainya dua tahun di anggap seperti makan selain susu?
Jawaban yang kuat adalah yang kedua (harus membasuhnya) sebagaimana yang dijadikan pegangan oleh guru kami Al Thandata’i.
Jadi Begitu juga jika bayi mengonsumsi selain susu dalam beberapa hari, kemudian berhenti darinya dan mencukupkan diri dengan susu, apakah dikatakan bahwa setiap masa ada hukumnya, atau harus membasuh secara mutlak karena dia telah mengonsumsi selain susu? Pendapat yang kuat adalah yang kedua (tetap dibasuh).” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: 1995] ,juz I, halaman 109-110).
Lebih singkat, Syekh Nawawi Banten menerangkan:
فإن أكل الصبي الطعام، و لو سمناً أو ماء (على جهة التغذي) ولو مرة وإن عاد إلى اللبن (غسل بوله قطعاً) أي بلا خلاف
Artinya, “Jika anak kecil makan makanan, bahkan jika itu adalah mentega (samin) atau air (untuk tujuan at taghadi (menjadi makanan pokok) meskipun hanya sekali, dan meskipun ia kembali minum susu (air kencingnya harus dibasuh secara mutlak) yaitu tanpa ada perbedaan pendapat.” (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tausyih ‘ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t t], halaman 78).
Nah, berarti untuk kesimpulan Hukumnya seperti apa?
Jadi dapat disimpulkan bahwa , najis air kencing bayi yang setelah lahir diberi susu formula karena ASI belum keluar, namun setelah beberapa hari bayi diberi asupan ASI secara penuh tanpa tambahan susu formula dihukumi sebagai najis biasa atau najis mutawasitah.
Dalam menyucikannya harus dengan mengalirkan air, tidak cukup hanya memercikannya saja.
Hal ini karena pemberian susu formula secara penuh dalam beberapa hari saat ASI belum keluar dianggap sebagai memberi makan bayi dengan selain susu, sehingga syarat air kencing bayi tersebut di sebut dengan najis ringan atau mukhaffafah tidak terpenuhi, yakni bayi yang belum makan dan minum apapun selain air susu untuk tujuan taghaddi (menjadikannya makanan pokok) pada bayi.
Demikian pembahasan dari artikel tentang “Urin Bayi Najis Atau Tidak? Yuk Simak Penjelasannya! ” Semoga artikel kali ini bermanfaat. Sampai jumpa di artikel berikutnya!
1 thought on “Urin Bayi Najis Atau Tidak? Yuk Simak Penjelasannya!”