Bagikan ke Teman

Jika di negara kita masih sibuk dengan istilah fatherless, maka saat ini di negara lain sudah muncul istilah lain. Lantas apa itu fenomena “Latte daddy” ini? Ternyata ini adalah istilah yang menggambarkan sosok ayah modern yang aktif terlibat dalam pengasuhan anak, sering divisualisasikan mendorong stroller dengan satu tangan sambil memegang secangkir latte di tangan lainnya. Fenomena ini mencerminkan perubahan budaya dalam peran ayah di masyarakat kontemporer, dari yang tadinya sebatas pencari nafkah menjadi pendamping parenting yang setara. Berikut penjelasan lengkap mengenai asal-usul istilah ini, konteks penggunaannya di berbagai negara, serta pandangan publik terhadap fenomena “latte daddy”.

Asal-Usul dan Apa Itu Fenomena “Latte Daddy”

Istilah “latte daddy” berakar dari kata “latte papa” yang muncul di Swedia sekitar dekade 2000-an. Kata ini lahir seiring dengan kebijakan parental leave (cuti orang tua) yang progresif di Swedia. Sejak 1974, Swedia menjadi negara pertama yang menerapkan cuti orang tua berbagi untuk ayah dan ibu secara bergantian. Pemerintah Swedia memberikan total 480 hari cuti berbayar untuk tiap anak yang baru lahir, yang dapat dibagi antara kedua orang tua, dengan 90 hari diantaranya khusus diperuntukkan bagi sang ayah (prinsip use-it-or-lose-it). Tujuan kebijakan ini adalah mendorong para ayah agar turut mengambil peran dalam pengasuhan, mematahkan stigma bahwa mengurus anak hanyalah tugas ibu.

Dari kebijakan inilah lahir istilah latte papa atau latte daddy. Secara harfiah, istilah ini mengacu pada ayah yang sedang mengambil cuti mengasuh anak, yang kerap terlihat mendorong kereta bayi dengan satu tangan dan memegang kopi latte di tangan lain. Pemandangan ini jamak ditemui pada pagi hari di kota-kota Swedia, khususnya Stockholm. Para ayah tersebut berjalan santai di taman atau duduk di kafe sambil menjaga anaknya – sebuah pemandangan yang sebelumnya jarang terlihat di banyak negara. Karena sering terlihat membawa kopi latte saat mengasuh anak di ruang publik, para ayah seperti ini kemudian dijuluki “latte papa” oleh masyarakat setempat. Istilah ini kemudian menyebar luas ke negara-negara Skandinavia lain dan dikenal secara global sebagai simbol gaya pengasuhan ayah yang baru.

Karakteristik Fenomena Latte Daddy

Fenomena latte daddy identik dengan gambaran ayah muda di perkotaan yang tampil modis dan percaya diri sambil mengasuh anak. Bayangkan seorang ayah sekitar usia 30-an, mengenakan kemeja rapi, celana jeans, dan sepatu kulit trendi, satu tangannya menenteng secangkir coffee latte panas, sementara tangan lainnya mendorong stroller bayi yang kokoh. Itulah ciri khas latte daddy yang kerap muncul di media sosial dan pemberitaan. Ayah tipe ini biasanya aktif dan terlibat langsung dalam merawat anaknya di tempat umum, mulai dari mengganti popok, menyuapi, hingga menenangkan anak, semua dilakukan sambil tetap menikmati secangkir kopi.

Citra latte daddy banyak ditemui di kota besar berkelas menengah ke atas. Di Stockholm misalnya, sudah lazim terlihat sekelompok ayah berpenampilan rapi nongkrong di kafe atau taman sambil mendorong stroller mahal dan menyeruput kopi. Hal serupa juga dilaporkan muncul di kota-kota Barat lain yang mendukung cuti ayah, seperti di Norwegia dan Denmark. Dalam konteks ini, latte daddy sering dianggap bagian dari gaya hidup urban modern, di mana ayah mengambil peran lebih besar dalam keluarga. Namun, perlu dicatat bahwa fenomena ini lebih sering terlihat di kawasan perkotaan dibanding pedesaan. Beberapa pengamat mencatat latte daddy umumnya berasal dari kalangan ayah dengan pekerjaan dan ekonomi relatif mapan, yang memiliki fleksibilitas waktu untuk bersantai di kafe sambil mengurus anak. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa latte daddy adalah tren kelas menengah perkotaan yang manis di permukaan, meski di baliknya terdapat perubahan sosial yang signifikan.

Data Pendukung Berbagai Negara dan Dampak Sosial

Beberapa data dan temuan berikut memperkuat pemahaman tentang fenomena latte daddy serta dampaknya:

  • Swedia: Berkat kebijakan parental leave yang dermawan, peran ayah dalam pengasuhan meningkat nyata. Setiap keluarga mendapat 480 hari cuti orang tua berbayar, dan ayah wajib mengambil minimal 90 hari. Akibatnya, sekitar 25% dari total hari cuti orang tua di Swedia kini diambil oleh para ayah, naik dua kali lipat dibanding akhir 1990-an. Studi di Swedia menemukan setiap bulan ekstra ayah mengambil cuti akan meningkatkan pendapatan ibu secara signifikan dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan efek positif cuti ayah terhadap kesetaraan karier ibu dan ayah.
  • Korea Selatan: Dukungan kebijakan seperti program “Bulan Ayah” mendorong lonjakan ayah mengambil cuti. Dalam lima tahun, jumlah ayah pengguna cuti naik lebih dari 5 kali lipat (dari 2 ribuan pada 2013 menjadi di atas 12 ribu pada 2017). Persentase ayah dalam total pengguna cuti pun melewati 10%. Pemerintah Korea memberikan insentif gaji penuh untuk beberapa bulan pertama cuti ayah, guna mengurangi hambatan finansial. Perubahan ini beriringan dengan pergeseran budaya yang menganggap ayah wajar mengambil peran pengasuh, bukan hanya mencari nafkah.
  • Indonesia: Di Indonesia, penerapan konsep latte daddy masih terkendala regulasi dan budaya. Undang-undang ketenagakerjaan saat ini hanya memberi cuti ayah 2 hari untuk kelahiran anak, jauh lebih singkat daripada negara-negara maju. Akibatnya, sulit bagi ayah di Indonesia untuk benar-benar mengambil peran layaknya latte daddy. Budaya kerja yang menuntut jam panjang dan norma gender tradisional (ibu sebagai pengasuh utama) masih kuat, sehingga fenomena ayah nongkrong mengasuh anak di kafe masih jarang dijumpai sehari-hari. Meskipun demikian, diskursus tentang pentingnya peran ayah dalam pengasuhan mulai berkembang di perkotaan Indonesia, seiring meningkatnya kesadaran work-life balance di kalangan milenial.
  • Dampak Positif: Riset menunjukkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan membawa berbagai manfaat nyata. Partisipasi aktif ayah sejak bayi terbukti meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif, memperbaiki kesehatan psikologis anak, serta membangun self-esteem dan kepuasan hidup yang lebih tinggi pada anak. Bagi ibu, kehadiran latte daddy membantu mengurangi “motherhood penalty” – hambatan karier akibat menjadi ibu – serta menurunkan tingkat stres dan risiko depresi pasca melahirkan. Bahkan, keluarga yang berbagi peran pengasuhan cenderung lebih harmonis dan stabil: studi menunjukkan angka perceraian lebih rendah pada keluarga di mana ayah mengambil cuti pasca kelahiran anak. Secara sosial, generasi muda yang tumbuh dengan ayah tipe ini mendapatkan teladan bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab bersama. 

Fenomena latte daddy pada akhirnya merefleksikan transformasi sosiokultural dalam institusi keluarga modern. Meskipun masih menghadapi tantangan dan kritik, fenomena ini telah membuka jalan menuju pembagian peran orang tua yang lebih adil dan harmonis di masa kini.

PREVIOUS POST
You May Also Like

Leave Your Comment: