
Belakangan banyak yang mempertanyakan apa penyebab penyakit hoarding disorder. Apalagi banyak video yang menunjukkan perilaku aneh ini di media sosial. Hoarding disorder, atau gangguan menimbun, ditandai kesulitan membuang benda hingga menumpuk berlebihan. Kondisi ini berbeda dari sekadar hobi mengoleksi karena melibatkan distres ekstrem saat harus membuang barang. Hoarding disorder adalah masalah kesehatan mental dengan prevalensi sekitar 2–6% populasi. Gangguan ini berdampak serius pada kehidupan sehari-hari penderitanya, misalnya membuat ruang tinggal tidak dapat difungsikan semestinya. Artikel ini mengulas penyebab hoarding disorder secara ilmiah dari berbagai sudut. Pembahasan meliputi faktor neurologis, psikologis, dan lingkungan. Artikel ini juga menyoroti pengaruh usia dan perbedaan jenis kelamin. Keterkaitan hoarding dengan OCD serta dampak trauma masa kecil turut dibahas.
Apa Penyebab Penyakit Hoarding Disorder? Faktor Neurologis: Peran Prefrontal Cortex dan Sistem Limbik
Penelitian pencitraan otak menunjukkan keterlibatan area prefrontal cortex dan sistem limbik dalam hoarding disorder. Kerusakan pada area frontal otak telah dikaitkan dengan perilaku menimbun. Area kritis meliputi ventromedial prefrontal cortex dan cingulate cortex di lobus frontal. Temuan tersebut mengindikasikan gangguan fungsi eksekutif di lobus frontal. Hal ini mempersulit penderita mengambil keputusan untuk membuang barang. Sebaliknya, sistem limbik yang mengatur emosi justru menunjukkan hiperaktivitas. Bagian otak seperti insula dan amigdala bisa terlalu aktif. Kondisi ini membuat penderita merasa sangat terikat secara emosional pada benda-benda miliknya. Sebuah studi menemukan adanya gangguan pada sirkuit fronto-limbik otak penderita hoarding. Hal ini mencakup koneksi abnormal antara korteks prefrontal ventromedial dan struktur limbik. MRI juga menunjukkan aktivitas rendah di anterior cingulate cortex (ACC) pada penderita hoarding. ACC adalah area otak yang berperan dalam pengendalian emosi dan perhatian. Secara neurologis, hoarding disorder melibatkan masalah kontrol kognitif dan respons emosional berlebihan terhadap benda. Hal ini menjelaskan mengapa penderita sulit mengambil keputusan untuk membuang barang. Keterikatan emosional yang sangat kuat membuat mereka enggan melepaskan benda tersebut.
Faktor Psikologis: Kecemasan dan Kontrol Impuls
Secara psikologis, hoarding disorder sering dikaitkan dengan tingkat kecemasan tinggi dan kesulitan kontrol impuls. Penderita hoarding diliputi kecemasan berat ketika hendak membuang barang. Mereka khawatir akan menyesal atau membutuhkan benda tersebut di kemudian hari. Kecemasan ini membuat mereka menunda atau menghindari keputusan untuk merapikan barang. Akibatnya tumpukan terus bertambah dari waktu ke waktu. Selain itu, perilaku menimbun sering didorong dorongan impulsif untuk terus memperoleh benda. Penderita mungkin belanja berlebihan atau tidak mampu melewatkan barang gratis. Banyak individu dengan hoarding disorder memiliki kesulitan dalam fungsi kognitif seperti memori, perhatian, dan organisasi. Mereka cenderung ragu-ragu dan perfeksionis dalam memutuskan nasib suatu barang, yang justru memperparah penumpukan. Sekitar 75% penderita hoarding juga memiliki gangguan mood atau kecemasan lain. Depresi, gangguan kecemasan umum, dan fobia sosial sering muncul bersamaan, menandakan beban psikologis yang kompleks. Karakteristik lain yang umum adalah gejala attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) seperti mudah terdistraksi dan sulit fokus. Berbagai kesulitan psikologis di atas membuat penderita kesulitan mengendalikan dorongan untuk menyimpan barang. Mereka juga semakin sulit mengatasi rasa takut ketika harus membuang barang tersebut.
Apa Penyebab Hoarding Disorder? Hubungan Lingkungan: Pola Asuh dan Peristiwa Hidup
Faktor lingkungan dan pengalaman hidup turut berperan penting dalam memicu hoarding disorder. Pola asuh masa kecil yang kurang memberikan rasa aman emosional dapat berkontribusi. Anak mungkin mengalihkan kebutuhan akan rasa aman kepada benda-benda di sekitarnya. Penelitian menunjukkan perilaku menimbun lebih sering terjadi pada orang yang keluarganya juga menimbun. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh faktor genetik dan lingkungan keluarga. Memang, sekitar separuh penderita melaporkan bahwa orang tua atau saudara kandung mereka juga memiliki kebiasaan menimbun. Selain itu, peristiwa hidup besar yang traumatis atau penuh tekanan kerap mendahului munculnya gejala hoarding. Misalnya, kehilangan orang terkasih, perceraian, atau kesulitan ekonomi dapat memicu peningkatan perilaku menimbun. Sebuah penelitian menemukan adanya korelasi antara pengalaman kehilangan sebelum hoarding dengan keterikatan emosional pada benda. Kehilangan di awal kehidupan dapat membuat seseorang lebih menggantungkan kenyamanan emosional pada barang-barang. Lingkungan masa kanak-kanak yang kacau atau penuh trauma juga dapat menghambat perkembangan keterampilan organisasi dan kontrol diri anak. Dampaknya, di kemudian hari individu menjadi lebih rentan mengalami hoarding. Semua faktor lingkungan ini dapat berinteraksi dengan kerentanan biologis dan psikologis individu. Kombinasi inilah yang pada akhirnya dapat mencetuskan hoarding disorder.
Pengaruh Usia terhadap Hoarding Disorder
Hoarding disorder dapat muncul di segala kelompok usia, namun karakteristiknya bervariasi seiring bertambahnya umur. Gejala biasanya mulai tampak sejak akhir masa remaja atau awal dewasa muda. Usia onset rata-rata dilaporkan sekitar 15–19 tahun. Pada tahap ini, perilaku menimbun mungkin belum menimbulkan gangguan besar. Namun, tanpa intervensi, kebiasaan menimbun cenderung menetap dan memburuk secara kronis. Memasuki usia pertengahan (30-an tahun), penumpukan barang mulai menyebabkan gangguan fungsi sehari-hari. Keparahan hoarding diketahui meningkat setiap dekade kehidupan. Orang lanjut usia cenderung memiliki tumpukan barang paling banyak dan lingkungan hidup paling berantakan. Penelitian mencatat lansia mengalami hoarding sekitar tiga kali lebih sering daripada dewasa muda. Hal ini mungkin karena lansia memiliki waktu puluhan tahun untuk mengumpulkan barang. Di sisi lain, kemampuan fisik mereka menurun. Hal ini menyulitkan proses membersihkan rumah yang penuh tumpukan barang. Selain itu, lansia mengalami lebih banyak peristiwa kehilangan dalam hidupnya. Contohnya adalah pensiun dari pekerjaan atau ditinggal wafat pasangan. Kejadian-kejadian ini dapat memperparah keterikatan lansia pada barang sebagai sumber kenyamanan. Perilaku hoarding pada lansia menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan serius. Tumpukan barang dapat menyebabkan bahaya terjatuh, kebakaran, hingga pelanggaran kode kebersihan. Oleh karena itu, deteksi dini dan intervensi sejak gejala awal sangat penting. Langkah ini dapat mencegah penumpukan menjadi parah di kemudian hari.
Perbedaan Jenis Kelamin dalam Perilaku Menimbun
Penelitian mengenai perbedaan jenis kelamin pada hoarding disorder menunjukkan hasil beragam. Beberapa studi melaporkan bahwa pria lebih sering mengalami hoarding dibanding wanita. Namun, kajian lebih baru mengungkap prevalensi gangguan ini relatif setara antara pria dan wanita. Perbedaan mungkin terletak pada karakteristik perilaku menimbun yang muncul. Wanita cenderung lebih sering melakukan akumulasi benda secara berlebihan. Misalnya, mereka terdorong untuk berbelanja banyak atau mengumpulkan barang gratis. Sementara itu, pria cenderung lebih sering teridentifikasi menimbun barang dalam survei populasi. Kondisi ini sempat menimbulkan kesan bahwa hoarding lebih banyak dialami pria. Perbedaan juga dapat muncul dalam hal mencari bantuan. Wanita mungkin lebih sering mencari pertolongan profesional. Sebaliknya, pria cenderung enggan melapor sehingga kasusnya lebih jarang terdata. Meskipun temuan berbeda-beda, jelas bahwa hoarding disorder dapat dialami oleh kedua gender. Pendekatan terapi yang efektif harus mempertimbangkan kebutuhan individu. Asumsi berdasarkan gender semata tidaklah tepat dalam menangani hoarding disorder.
Kaitan dengan Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD)
Hoarding disorder memiliki sejarah panjang dikaitkan dengan gangguan obsesif kompulsif (OCD). Sebelum tahun 2013, perilaku menimbun dianggap sebagai salah satu gejala atau subtipe OCD. Banyak penderita OCD klasik juga mengalami dorongan menimbun karena obsesi tertentu. Misalnya, mereka khawatir membuang benda akan mendatangkan malapetaka. Namun, penelitian terkini menunjukkan perbedaan bermakna antara hoarding disorder dan OCD. Pola gejala maupun mekanisme otak pada hoarding tidak sama dengan OCD. DSM-5 akhirnya memasukkan hoarding sebagai diagnosis terpisah, meski tetap dalam spektrum gangguan obsesif-kompulsif. Artinya, hoarding diakui sebagai gangguan sendiri yang berdiri sejajar dengan OCD, bukan sekadar manifestasi OCD. Meski demikian, ada sebagian kasus hoarding yang juga memenuhi kriteria OCD. Diperkirakan sekitar 18% penderita hoarding juga mengalami OCD. Walaupun ada kemiripan gejala, sebagian besar penderita hoarding tidak memiliki obsesi atau kompulsi khas OCD. Perbedaan lainnya terletak pada tingkat kesadaran terhadap gangguan. Penderita hoarding cenderung tidak menyadari bahwa perilaku menimbunnya bermasalah. Sebaliknya, penderita OCD umumnya memiliki insight yang lebih baik. Kajian neuropsikologis juga mendapati perbedaan pola fungsi otak. Hoarding melibatkan defisit proses informasi seperti kesulitan mengorganisasi dan mengambil keputusan. Pola ini tidak lazim ditemukan pada gangguan OCD. Singkatnya, hoarding disorder dan OCD adalah dua gangguan terkait tetapi tidak identik.
Pengaruh Trauma Masa Kecil
Pengalaman trauma pada masa kanak-kanak diduga kuat berperan dalam perkembangan hoarding disorder. Banyak penderita melaporkan peristiwa traumatis atau tekanan hebat saat kecil sebelum perilaku menimbun muncul. Bentuk trauma dapat berupa pelecehan fisik atau emosional, penelantaran, kehilangan orang tua, atau menyaksikan kekerasan. Trauma masa kecil dapat mempengaruhi cara individu mengatasi stres dan membentuk rasa aman. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tak stabil mungkin mencari rasa aman dari benda-benda di sekitarnya. Studi menunjukkan korelasi antara frekuensi kehilangan dalam masa kanak-kanak dan kuatnya keterikatan emosional pada benda. Anak yang mengalami banyak kehilangan cenderung tumbuh lebih terikat pada objek-objek miliknya. Trauma juga dapat mengganggu perkembangan kontrol impuls dan kemampuan mengatur emosi. Akibatnya, saat dewasa, individu tersebut lebih rentan menimbun barang sebagai mekanisme koping terhadap kecemasan atau kenangan buruk. Meskipun tidak semua penderita hoarding mengalami trauma masa kecil, terdapat keterkaitan yang signifikan antara keduanya. Pemahaman tentang peran trauma dini penting untuk merancang terapi yang tepat. Pendekatan terapeutik dapat mencakup teknik khusus untuk mengatasi trauma sekaligus perilaku menimbun.
Hoarding disorder merupakan kondisi kompleks yang dipicu oleh kombinasi berbagai faktor. Secara neurologis, area otak frontal dan limbik (pengatur keputusan dan emosi) berperan dalam gangguan ini. Secara psikologis, faktor seperti kecemasan dan impulsivitas turut berkontribusi. Selain itu, pengalaman hidup seperti pola asuh dan trauma masa kecil juga memegang peranan penting.
Leave Your Comment:
Anda harus masuk untuk berkomentar.